Depok, Konteks360.com – Massa dengan jumlah sekitar 50 orang mendatangi salah satu tempat ibadah umat Kristen di Cinere Belleuvue, Cinere, Depok pada Sabtu (16/09) jam 08.00 WIB pagi. Dalam keterangannya, Pengurus GBI Cinere Belleuvue, Arif Syamsul menjelaskan, “Massa bersorban dengan jumlah sekitar 50 orang, mendatangi rumah ibadah tersebut. Mereka teriak-teriak sambil menggedor-gedor”.
Arif mengaku, pihaknya agak dipersulit oleh lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM) setempat saat meminta izin melakukan ibadah di tempat tersebut. “Jemaat yang beribadah adalah pindahan dari Pangkalan Jati, Cinere. Karena kontrak habis, kita pindah ke daerah Gandul. Kita selalu sewa ruko yang mana menurut UU nggak perlu (izin), tapi kita bahasanya kulonuwun ke RT/RW, kelurahan, kecamatan,” urainya
Awalnya para anggota LPM di Gandul mengajukan syarat berupa pengumpulan 60 tanda tangan dan KTP dari warga sekitar agar ibadah bisa dilaksanakan. Syarat tersebut telah berhasil dipenuhi. “Kami memiliki 80 KTP dan tandatangan, tapi masih dipersulit. Mereka bilang itu KTP-nya DKI, KTP Limo,” kisahnya.
Ibadah perdana GBI Cinere Bellevue diadakan pada Minggu, 10 September 2023 lalu. Pelaksanaan ibadah juga berada dibawah pengawalan aparat kepolisian.Selepas ibadah, para anggota LPM mengajukan syarat baru untuk izin peribadatan, yakni adanya restu dari Wali Kota Depok. “Mereka mempersulit kami dengan menambah sendiri persyaratan. Bahkan, disuruh restu dulu dari Wali Kota. Mereka minta ditiadakan dulu ibadah selama dua kali minggu,” terang Arif.
Puluhan orang yang mengatasnamakan ormas tertentu menyebut pelarangan ada tempat ibadah dengan alasan karena sejarahnya daerah tersebut tidak pernah ada yang namanya gereja, menurut Santiamer Silalahi sangat tidak beralasan. “Kalau mau lihat sejarah Cinere, dulunya hutan belukar belum ada rumah… kenapa sekarang jadi banyak rumah.?”
Apapun, negara wajib melindungi dan membela setiap warga negara yang hak paling dasarnya dilanggar, bukan malah membela dan melindungi pelanggar-pelanggar konstitusi. “Kalau negara takut dan kalah terhadap ormas pelanggar konstitusi, hapus saja konstitusinya dan negara dibubarkan saja atau NKRI bukan lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi ganti merek jadi Negara Kelompok Radikal Intoleran.”
Kalau pemerintah masih saja melakukan pembiaran atau bahkan memelihara kelompok-kelompok intoleran, tegas Santiamer, untuk apa ada aturan hukum kalau tidak pernah dipakai. “Atau memang ada yang menginginkan kita kaji ulang kesepatan berbangsa dan bernegara tentu kami siap saja.”
Secara serius Santiamer perlu menyatakan, “Hukum berat pelaku, jika tidak kami lebih suka berpisah dari negara Indonesia. Jangan kami dipermainkan untuk selalu jadi korban kelompok-kelompok intoleran.” [JV]
[JV]