Santiamer Silalahi : Hubungan Orang Kristen dengan Pemerintah

Lesson Learned dari fakta sejarah penganiayaan kedua terhadap para rasul Tuhan Yesus Kristus. Beberapa orang yang membaca sejarah ini akan mengerti sepenuhnya tantangan yang dihadapi oleh para rasul. Sebelumnya, mereka juga telah diancam dan diperintahkan untuk berhenti memberitakan Firman dalam nama Yesus. Beberapa lagi telah ditangkap dan dipukuli; beberapa lagi bahkan telah mati demi iman mereka.

Oleh sebab itu, persoalan yang melibatkan ketaatan kepada Allah atau manusia adalah jelas sekali. Bagaimanapun, untuk kebanyakan dari kita, masalah ini bisa jadi kurang gamblang. Oleh karena itu, penting sekali menemukan ada nilai tersendiri dalam menyelidiki lebih lanjut persoalan tentang hubungan kita dengan “para penyelenggara negara/pemerintah”. Ada tiga prinsip utama yang perlu kita diketahui tentang hubungan orang Kristen dengan penyelenggara negara/pemerintah.

PERTAMA : TAATILAH HUKUM NEGARA
Prinsip pertama adalah, sebagai peraturan umum, bahwa kita harus mentaati hukum negara dimana kita tinggal. Persoalan di seluruh dunia adalah kurangnya rasa hormat terhadap penyelenggara negara/pemerintah. Dalam era The six D’s Peter Diamandis ini, ketika “setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri”, maka kekacauan berkuasa.Orang Kristen harus mentaati pemerintah sipil, tetapi bukan dikarenakan pemerintah itu selalu
benar atau selalu baik. Penguasa yang dibicarakan oleh Paulus dan Petrus adalah pemerintah Romawi, yang dikepalai oleh Nero. Kita mentaati hukum-hukum negara bukan karena kita setuju dengannya atau karena hukum-hukum itu masuk akal; sebaliknya, kita mentaati hukum-hukum itu sebab inilah kehendak Allah. Paulus mengatakan bahwa pemerintah sipil adalah “dari Allah” dan para pegawai sipil itu bertindak sebagai “hamba Allah” (Roma 13:1, 4). Petrus berkata, “Tunduklah, karena Allah … Sebab inilah kehendak Allah” (1 Petrus 2:13, 15);

PRINSIP KEDUA : PENGECUALIAN KETIKA HUKUM NEGARA MELANGGAR HUKUM ALLAH
Prinsip kedua adalah pengecualian terhadap peraturan umum, ketika hukum manusia secara langsung  bertentangan dengan hukum Allah. Dalam Kisah 4 dan 5, pertentangan itu jelas terlihat: Manusia memerintahkan,  Jangan memberitakan dalam nama Kristus”; Allah berkata, “Beritakanlah dalam nama Kristus.” Dalam Perjanjian Lama, Firaun berkata, “Bunuh semua bayi laki-laki” (Keluaran 1:15-22), tetapi Allah

berkata, “Engkau tidak boleh membunuh.” Di era sekarang di Indonesia sekelompok manusia yang menganggap dirinya paling benar, berkata : “ Tidak boleh beribadah, karena belum ada ijin, tetapi Allah berkata : Mengucap syukur dan beribadahlah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya (Ibrani 12:28-29). Pemimpin organisasi kemasyarakatan keagamaan dan non-keagamaan di Indonesia atas nama pemerintah, atas nama peraturan perundang-undangan berkata : “Jangan berhimpun bersama untuk menyembah Allah,” tetapi Allah berkata, “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang” (Ibrani 10:25).

See also  Toleransi Beragama di Indonesia: Perspektif Ganjar Pranowo

Manusia telah mengatakan, “Jangan ajarkan Alkitab kepada tetanggamu,” tetapi Allah berkata, “Beritakanlah injil kepada segala mahkluk” (Markus 16:15). Jika pertentangan itu begitu kentara, maka orang yang punya tanggung jawab kepada kehendak Allah tidaklah memiliki pilihan. Ia tidak boleh bertanya, “Apakah yang berguna?” atau “Apakah yang sedang populer?” atau “Apakah yang tidak membahayakan?” atau bersikap : “Ah sudahlah mengalah saja, daripada rebut-ribut!. Kita hanya dapat bertanya, “Apakah yang benar?”—dan melaksanakannya tanpa tedeng aling-aling. Tanyalah Tuhan Yesus Kristus. Dia past memberi jawaban! Baru-baru ini pimpinan Komisi VIII DPR RI meminta penayangan film His Only Son dihentikan. Banyak keyakinan telah menjadi “tidak bisa diterima secara politis.” Dalam beberapa kasus, supaya tidak melukai perasaan orang, kita dapat dan harus mengikuti kecenderungan masyarakat. Bagaimanapun, apa yang “tidak bisa diterima secara politis” tidak selalu benar secara Alkitabiah. Sebagai contoh, menyalahkan homoseksualitas adalah “tidak bisa diterima secara politis,” namun Alkitab mengajarkan bahwa homoseksualitas adalah suatu kekejian di pemandangan Allah. (Lihat Imamat 18:22; 20:13; 1 Korintus 6:9, 18.)

Untuk memberitakan seluruh pengajaran Allah, kita harus tidak boleh ragu-ragu untuk menelanjangi homoseksualitas sebagai perbuatan daging yang dapat mencelakakan jiwa kita (Galatia 5:19-21). Kita harus meminta semua kaum homoseksual untuk bertobat dan merubah gaya hidup mereka. Pertanyaannya harus tidak boleh begini “Apakah yang bisa diterima secara politis?” melainkan “Apakah yang diajarkan secara Alkitabiah?”

Pada masalah lainnya, hati nurani perorangan ikut terlibat. Hati nurani adalah perasaan halus yang Allah letakkan di dalam diri kita masing-masing yang memberitahukan bahwa beberapa tindakan adalah benar dan beberapa tindakan adalah salah. Secara naluri, hati nurani mengetahui bahwa beberapa tindakan adalah salah; dalam masalah lain lagi, hati nurani harus dididik. Kadang kala, masalah kontoversial timbul ketika tidak ada perkataan “demikianlah firman Tuhan” yang jelas.

Dalam masalah seperti itu, setiap orang Kristen harus dengan hati-hati mempelajari masalah itu dalam terang Kitab Suci, supaya “benar-benar yakin dalam hatinya sendiri” (Roma 14:5), lalu berusaha untuk hidup secara konsisten dengan keyakinannya itu. Oleh sebab itu, umat Kristen dari waktu ke waktu tidak boleh takut untuk mengatakan kepada pemerintah dan/atau organisasi kemasyarakat berbasis apapun itu “Saya tidak dapat melakukan ini atau itu dengan sepenuh hati,” atau “Melakukan ini atau itu akan mengganggu hati nurani saya.”

Karena menentang penyelenggara negara/pemerintah merupakan masalah serius di pemandangan Allah, maka cermatlah dalam membedakan antara apa yang Anda tidak sukai dengan apa yang Allah tidak sukai. Jika Anda secara pribadi tidak menyukai hukum tertentu, maka telan sajalah harga diri dan kedegilan Anda itu, lalu tundukklah
dengan senang hati. Bagaimanapun, jika Anda yakin sepenuh hati bahwa suatu hukum tertentu bertentangan dengan kehendak Allah, pertahankanlah pendapat Anda—namun bersiaplah untuk membayar harganya. Tulislah perkataan Petrus dan rasul-rasul lainnya di dalam hati Anda: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia” (5:29)— bukannya “kita mungkin akan” atau “tampaknya akan baik untuk,” melainkan “kita harus.” Ketika diancam akan dipenjarakan, mereka menjawab, “Kami harus mentaati Allah.” Ketika diancam akan dipukuli, mereka menjawab, “Kami harus mentaati Allah.” Ketika diancam dengan kematian, mereka menjawab, “Kami harus mentaati Allah.”

See also  Santiamer Silalahi : Menjadi Bermartabat oleh Penghinaan

PRINSIP KETIGA: SETIAP WAKTU TUNJUKKANLAH SIKAP HORMAT KEPADA PENYELENGGARA  NEGARA/PEMERINTAH.

Prinsip ketiga adalah yang paling utama dan kemungkinan yang paling sulit. Sepanjang waktu (bahkan dikala kita dengan sepenuh hati harus menentang sebuah hukum tertentu), menunjukkan sikap hormat kepada para penyelenggara negara/pemerintah. Dalam pasal 4, Petrus dan Yohanes bersikap hormat sewaktu berdiri dihadapan Sidang itu. Dalam pasal 5, Petrus dan rasul-rasul lainnya tidak melawan ketika para penguasa itu datang untuk menangkap mereka; mereka penuh sikap hormat. Petrus menantang kita juga untuk “menghormati raja” (1 Petrus 2:17)! Ini berarti dalam setiap aspek hubungan kita dengan penyelenggara negara/pemerintah (dengan satu pengecualian terhadap hukum mana saja yang tidak dapat kita taati dengan sepenuh hati), kita harus bersikap hormat, sopan santun, dan tunduk dengan setunduk-tunduknya! Jika ada hukum yang tidak dapat kita taati dengan sepenuh hati, kita harus berupaya sedapat mungkin untuk menegaskan bahwa kita tidak dapat mentaati hukum itu sebab kita lebih suka mentaati Allah, bukan karena kita lebih suka menjadi pemberontak.

Terlalu banyak orang yang mengaku menjadi pengikut Allah memiliki sikap seperti orang-orang tidak puas yang tidak berdisiplin dan tidak berprinsip. Mereka menyerang para pejabat, menghancurkan harta orang lain, dan mendorong pemberontakan. Lalu, ketika pemerintah membalas, mereka melabelkan diri mereka sebagai martir. Sebaliknya, Paulus menyurati Titus: Ingatkanlah mereka [umat Kristen di Kreta] supaya mereka tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik. Janganlah mereka memfitnah, janganlah mereka bertengkar, hendaklah mereka selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang (Titus 3:1, 2).

Simak kembali rasul-rasul itu dan hubungan mereka dengan Sanhedrin yang berkuasa. Di hadapan Sidang itu mereka bersikap berani, tetapi tidak membenci. Sewaktu diperintahkan tidak boleh memberitakan Yesus, mereka tidak mengajukan petisi untuk mendakwa para anggota Sidang atau menggelar sebuah demonstrasi protes atau berusaha membakar Bait Allah.

Mereka semata-mata tetap memberitakan Yesus dan siap sedia menerima segala akibatnya. Prinsip yang sedang kita bahas ini berlaku bagi segala bidang ketundukan. Perjanjian Baru banyak berkata tentang ketundukan kepada penguasa: 10 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu (Efesus 5:22-24; Kolose 3:18; 1Petrus 3:1-6). Anak-anak harus tunduk kepada orang tua (Efesus 6:1-3; Kolose 3:20). Pegawai harus tunduk kepada majikannya (Efesus 6:5-8; Kolose 3:22-24).11 Sebagai orang Kristen kita harus tunduk kepada para penatua jemaat kita (Ibrani 13:17). Kita harus tunduk kepada semua penguasa, baik kita membicarakan tentang kepala sekolah dan para guru dimana kita sekolah maupun para pejabat sebuah organisasi profesional dimana kita menjadi anggotanya (Titus 3:1).

See also  Santiamer Silalahi : Sisi Positif dan Negatif Politik Identitas

Dalam semua bentuk hubungan yang ditulis itu, ada kemungkinan kita diberitahu untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Firman Allah. Seorang isteri Kristen bisa jadi diminta pasangannya untuk berpartisipasi dalam pelbagai kegiatan yang tidak senonoh. Seorang anak yang punya orang tua non-Kristen boleh jadi dilarang memiliki apapun yang berhubungan dengan gereja. Seorang majikan mungkin telah menegaskan bahwa kita akan dipecat jika kita tidak menutup mata terhadap praktik-praktik bisnis kotor tertentu. Jika situasi seperti ini timbul, “kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.”

Untuk seterusnya, jika pendirian kita untuk Kristus mau memiliki hasil seperti yang diinginkan, kita harus secara patuh bersikap tunduk. Jika seorang isteri Kristen sering kali tidak memperhatikan keinginan suaminya yang non Kristen, maka ia tidak dapat mengesankan sang suami itu dengan komitmennya sewaktu ia berkata, “saya mau pergi beribadah daripada pergi mancing denganmu.”

Bagi sang suami, sikap itu dianggap seperti mengalihkan masalah untuk menjengkelkan dia. Anak Kristen secara umum harus bersikap hormat terhadap orang tuanya yang non-Kristen, atau orang tua itu akan memahami kehadirannya dalam ibadah yang menentang kehendak mereka semata-mata merupakan bentuk ungkapan lain dari pemberontakannya. Begitu juga halnya dengan pegawai, anggota gereja, pelajar di sekolah, dan anggota organisasi profesional. Jika kita ingin menjadi sebuah pengaruh yang positif untuk Tuhan, kita harus belajar tunduk dengan sukacita dalam segala hal kecuali kepada yang bertentangan dengan kehendak Allahyang telah diungkapkan.

Jakarta, 19 September 2023.

*)Santiamer Silalahi, C.Me : Pemerhati dan Pelaku Adat Budaya, Keagamaan dan Politik di Indonesia. Ketua Umum Galaruwa, 2022-2028; Sekretaris Jenderal KERMAHUDATARA, 2023-2028; Ketua bidang Kajian Strategis dan Hubungan Kelembagaan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, 2023-2028.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *